Minggu, 07 Juli 2013

TAHI rasa COKELAT atau COKELAT rasa TAHI ???

Pertanyaan ini mungkin terkesan jorok bagi sebagian orang. Namun, seandainya anda diminta memilih satu saja di antara dua pilihan ini, apa yang akan anda pilih? Tahi rasa cokelat - atau - cokelat rasa tahi?
Just give your best and straight answer, without second thought.
The reason why I'm asking this crazy question is this.
Dalam sebuah perbincangan rohani denganku, a very dear friend of mine in the ministry pernah memberikan pertanyaan ini padaku. Awalnya, I take this question as a funny joke. Tetapi, pertanyaan ini ternyata memiliki jawaban yang sungguh sangat rohani dan mendalam, meskipun ketika pertama kali mendengar jawabannya pun saya merasa adalah di luar kepantasan menjelaskan suatu perkara rohani dengan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan tadi dapat diubah secara rohani menjadi, "pilih mana, setan atau TUHAN?"
Inilah realita kehidupan beriman kita. Hidup dalam genggaman kuasa setan bagaikan TAHI rasa COKELAT. Kenikmatan cokelat digunakan setan untuk menyembunyikan sesuatu yang pada dasarnya adalah tahi. Si jahat dapat menjanjikan segala yang indah seperti kekayaan, kemuliaan, kekuasaan, hidup yang nyaman, kepuasan hawa nafsu, cinta diri yang palsu, kesenangan, popularitas, dan berbagai bentuk kenikmatan duniawi lainnya, asalkan manusia sujud menyembah dia lewat berhala-berhala yang ditawarkan tadi. Namun, sadar atau tidak, ada sesuatu yang busuk dan jahat di balik semuanya itu. Itulah DOSA. Setan tahu bahwa manusia tidak mungkin akan memilih dosa jika dosa itu ditawarkan dalam sesuatu yang sudah terlihat jelas busuknya atau jeleknya. Karena itu, si iblis yang berselubung malaikat terang, dengan kepandaiannya punya sejuta cara untuk membungkus segala tawarannya yang jahat menjadi sesuatu yang kelihatan indah dan menggiurkan. Tujuannya adalah supaya manusia menjadi lupa akan martabatnya yang luhur sebagai "citra Allah" (Imago Dei), agar manusia tidak lagi merindukan surga, berhenti menapaki jalan pemurnian menuju kesempurnaan. Pada akhirnya, manusia mengalami kejatuhan dan kebinasaan, dicampakkan ke dalam kegelapan dimana hanya ada ratap dan kertak gigi.
Padahal, tawaran TUHAN seharusnya menjadi pilihan kita semua. Tawaran yang sekilas mata dan lidah kedagingan kita terasa sulit untuk ditelan yakni, COKELAT rasa TAHI. Ngapain kita harus makan sesuatu yang rasanya seperti tahi? Itulah yang dibisikkan si jahat. Ngapain kita hidup jujur kalau tidak pernah kaya? Untuk apa jadi orang baik kalau harus ditindas, dihina, diperlakukan tidak adil, sementara mereka yang jahat justru bersenang-senang atas penderitaan kita? Ngapain hidup bersama Tuhan kalau hanya dipenuhi luka, kekecewaan dan beban salib yang berat? Ngapain hidup dalam komunitas umat beriman kalau harus mengalami luka-luka batin dari sesama saudara dan saudari seiman? Kenapa saya harus melayani sedangkan saya tidak pernah merasa dilayani? Untuk apa memberi diri untuk Tuhan manakala saya tidak pernah beroleh upah apa-apa secara materi? Benarlah kata-kata Injil, banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih, sulit dan sempitlah jalan menuju ke surga, tetapi luas dan lebarlah jalan menuju kebinasaan.
Akhir-akhir ini, si jahat pun mulai menyesatkan sebagian dari pengikut Kristus dengan janji-janji yang menyesatkan, bahwa hidup bersama Tuhan akan selalu sehat, makmur, kaya, tanpa penderitaan. Bahwa orang yang diberkati dan diurapi Tuhan adalah orang-orang yang memiliki kemapanan hidup secara finansial, bebas dari kemiskinan. Ada bahaya dan kesesatan besar yang dapat mengaburkan pandangan kita dan lupa bahwa panggilan Kristiani yang sejati adalah panggilan untuk merasakan dan mencintai misteri Salib. Bukankah Tuhan dan Penyelamat kita terlahir dalam kemiskinan di kandang yang hina? Bukankah sepanjang hidupnya tak terbilang banyaknya penderitaan dan perlakuan keji yang Dia alami? Bukankah Dia mati di salib dalam rupa yang sungguh tidak seperti manusia lagi dan dalam ketelanjangan layaknya penjahat? Bukankah kubur untuk membaringkan jenasah-Nya pun tak punya, sampai-sampai harus menggunakan kubur pinjaman milik Yusuf dari Arimatea?
Jadi, waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang mengajarkan kekristenan tanpa salib, bahwa hidup bersama Tuhan akan selalu senang-senang saja, makmur sejahtera, anak-cucu diberkati yang diartikan secara finansial dan materi belaka, yang hanya menawarkan penyembuhan dan urapan palsu, yang memutarbalikkan isi firman Allah secara keliru seperti yang dilakukan iblis ketika menggunakan firman Allah untuk mencobai Tuhan Yesus di padang gurun. 
Kekristenan tanpa salib adalah kepalsuan. Untuk mengikuti Kristus yang tersalib, kita pun diminta untuk setia memanggul salib kehidupan kita dengan sukacita. Ketika kita mampu bersyukur dalam segala penderitaan maupun pencobaan dan tetap bersukacita, pada saat itulah terlihat kemurnian iman kita yang pada akhirnya akan beroleh ganjaran sukacita surgawi, kehidupan kekal dalam kebahagiaan sejati bersama ALLAH TRITUNGGAL YANG MAHAKUDUS. Jalan Tuhan mungkin bagi kita tidak mengenakkan, penuh dukacita, airmata dan luka-luka, dipenuhi beban salib yang berat, tetapi berbeda dengan jalan si jahat yang berujung pada kebinasaan, jalan salib ini pada akhirnya akan menghantar kita kepada tujuan akhir, yakni tanah air surgawi. Yakinlah, suatu saat nanti akan terbukti bahwa jalan Tuhan adalah pilihan terbaik kita. Bijaklah dalam memilih antara TAHI rasa COKELAT atau COKELAT rasa TAHI.
"Mengapa membungkukkan badan hanya sekadar untuk minum dari kubangan hiburan duniawi jika sesungguhnya engkau dapat memuaskan rasa hausmu dengan air yang memancar ke dalam kehidupan kekal."
St. Josemaria Escriva, JALAN, 148

My sincere prayer & fraternity love,
VEROL FERNANDO TAOLE

Jumat, 05 Juli 2013

Panggilan Untuk Mencinta


LUKAS 6: 27 36

Saudara-saudari yang saya kasihi dalam Tuhan kita Yesus Kristus.
Kasih adalah sebuah kata yang singkat dan begitu mudah diucapkan. Bila kita masing-masing diminta untuk memberikan contoh perbuatan-perbuatan cintakasih, pasti dengan mudah kita dapat memberikan berbagai macam contoh sebagai jawaban. Jika demikian, kenapa masih ada kelaparan? Kenapa masih ada orang sakit yang masih mati sebagai gelandangan di pinggir jalan karena tidak ada yang merawat? Kenapa masih ada begitu banyak ketidakadilan, peperangan, pembunuhan, aborsi dan berbagai bentuk kekejian di dunia ini?
Semuanya seolah menjadi bukti bahwa meskipun hampir semua orang tahu apa itu kasih, kita masih gagal untuk mengasihi sebagaimana Tuhan mengasihi.
Saudara saudari terkasih,
Berbuat baik memang sangatlah mudah manakala itu kita lakukan kepada orang yang juga berbuat baik kepada kita. Memberi itu terasa mudah manakala orang lain juga memberi balik kepada kita. Mengasihi orang yang mengasihi kita merupakan suatu perbuatan yang wajar dan pasti dilakukan oleh sebagian besar orang. Akan tetapi, dalam bacaan Injil ini dengan jelas Tuhan Yesus mengatakan bahwa sekalipun kita melakukan semuanya itu, kita tidak ada bedanya dengan orang-orang berdosa, orang-orang jahat, bahkan orang-orang yang tidak mengenal Allah, sebab merekapun melakukan perbuatan-perbuatan baik yang demikian. Adalah mudah untuk melakukan perbuatan cintakasih kepada orang yang melakukan hal yang sama kepada kita. Namun, melakukan perbuatan cintakasih kepada orang yang melakukan sebaliknya sudah pasti merupakan hal yang tidak mudah bahkan tidak masuk akal bagi sebagian orang. Namun demikian, justru inilah keindahan yang terkandung dalam panggilan kita sebagai seorang pengikut Kristus.
Kata-kata Tuhan Yesus memberikan suatu pemahaman baru yang sangat radikal akan cintakasih yang sejati. “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu. Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.”
Inilah arti cintakasih yang sejati. Kita dipanggil untuk mencintai sampai terluka, sebagaimana Tuhan sendiri telah mencintai sampai terluka, bahkan mati karena cintakasih-Nya yang besar kepada kita.
Inilah konsekuensi cintakasih yang membuat banyak orang yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih. Siapapun yang menyebut diri pengikut Kristus tetapi tidak mampu mengasihi sampai terluka, sebenarnya bukanlah pengikut Kristus. Sebab, bilamana kita hendak mengikuti Sang Kristus yang terluka karena cinta, kita pun dipanggil untuk mengasihi sesama sampai terluka, sebagaimana yang telah lebih dahulu dilakukan dan diteladankan oleh Tuhan dan Penyelamat kita Yesus Kristus. Kasih yang sejati menuntut pengorbanan, kesediaan untuk melepaskan sesuatu, kesediaan untuk terluka, kesediaan untuk mengampuni, kesediaan untuk mengasihi tanpa syarat.
Saudara-saudari terkasih,
Allah adalah Kasih. Kita semua tercipta karena kasih. Oleh karena itu, sebagaimana kita diciptakan dalam kasih Allah, kesempurnaan martabat manusia kita justru terletak pada kesempurnaan kita dalam tindakan cintakasih. Bukan soal berapa banyak perbuatan baik yang kita lakukan, melainkan seberapa besar kasih yang kita curahkan saat melakukan semuanya itu. Penyangkalan terhadap panggilan kita untuk mengasihi berarti penyangkalan terhadapat kesempurnaan martabat manusia kita yang tercipta karena Kasih. Semoga Tahun Iman yang kita rayakan saat ini menjadi saat penuh rahmat bagi kita untuk merenungkan keluhuran panggilan kristiani kita, sebagaimana dikatakan oleh St. Teresia dari Kanak-Kanak Yesus, “Panggilanku adalah Kasih.”  
Semoga demikian.

My sincere prayer & fraternity love,
VEROL FERNANDO TAOLE

Hukum Yang Terutama


MARKUS 12: 28 34

Saudara-saudari yang saya kasihi dalam Tuhan kita Yesus Kristus.
Dalam bacaan ini dikatakan bahwa di salah satu kesempatan tanya jawab dengan Tuhan Yesus, seorang ahli Taurat bertanya, “Hukum manakah yang paling utama?”
Yesus menjawab dalam dua bagian. Pertama, “Tuhan Allah kita hanya satu. Kasihilah Tuhan , Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” Kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.”
Dan memang benarlah demikian. Inilah kedua hukum yang merangkum seluruh isi Kitab Suci dan menjadi dasar hidup kita sebagai pengikut Kristus. Saya yakin, kita semua sudah pernah mendengar bahkan menghapal hukum cintakasih ini. Secara turun-temurun, entah dalam keluarga, dalam hidup menggereja, dalam institusi pendidikan katolik, dan dalam berbagai keseharian kita sebagai umat beriman, hukum cintakasih ini selalu dan selalu dikhotbahkan, dikenalkan, diajarkan dan diwariskan sebagai dasar dari seluruh panggilan kita sebagai pengikut Kristus.
Jika demikian, kenapa sekarang kita masih terus-menerus diingatkan akan hukum ini? Kenapa bacaan Injil ini harus kita angkat untuk direnungkan bersama?
Pertanyaan-pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya bagi kita sekalian. Masih adakah orang yang hidup miskin tanpa sesuap nasi untuk dimakan? Masih adakah orang-orang sakit & gelandangan yang dibiarkan mati di pinggir jalan karena tidak bisa memperoleh hidup yang layak? Apakah dunia ini masih saling berperang dan membunuh dengan mengatasnamakan agama, suku, ras, maupun kelompok? Ini hanyalah beberapa dari sekian banyak pertanyaan yang membuat kita boleh merenungkan dan tertunduk malu di hadapan Allah dalam kesadaran bahwa segala kemalangan tersebut merupakan bukti nyata betapa sampai saat ini kita masih gagal dalam menjalankan hukum cintakasih yang diajarkan oleh Tuhan dan Penyelamat kita Yesus Kristus.
Saudara-saudari terkasih,
Allah adalah Kasih & kita diciptakan karena kasih Allah. Kita dipanggil untuk menyadari keluhuran martabat kita sebagai manusia yang tercipta karena kasih. Kesempurnaan kita sebagai manusia justru terletak pada seberapa besar kemampuan kita dalam mengasihi. Oleh karena itu, berulang kali Gereja mengajak kita untuk terus menerus berusaha menghidupi hukum cintakasih ini sebagai yang terutama dalam hidup kita.
Apa yang dimaksud dengan mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan?
Artinya, kita menyadari betapa kita berharga dan dikasihi Allah, bahwa seluruh hidup kita berasal dari-Nya, sehingga karenanya kita mengarahkan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita untuk mengasihi Allah atas karya-Nya yang begitu indah dalam hidup kita. Seberapa besar kasih kita kepada Allah sangat tergantung dari seberapa besar kerinduan kita untuk memiliki relasi pribadi yang mendalam dengan Dia. Tidak ada ukuran yang dapat dipakai dalam mencintai Allah. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh St. Fransiskus dari Sales, “Ukuran mencintai Allah adalah mencintai tanpa ukuran.” Bilamana kita sungguh mengasihi Allah dan memiliki relasi pribadi yang mesra dengan-Nya dalam doa, dengan sendirinya kita akan dimampukan untuk melaksanakan hukum yang kedua, yakni “mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri.” Kita akan memberi dengan murah hati sebagaimana Tuhan memberi, mengampuni sebagaimana Tuhan mengampuni, dan mengasihi sebagaimana Tuhan mengasihi. Jalan hidup seorang Kristen adalah jalan cintakasih. Tidak ada jalan lain untuk menuju kemuliaan surga selain jalan ini. Santo Yohanes dari Salib dengan tegas menyatakan hal ini dengan berkata, “Pada senja hidup kita, kita akan diadili menurut ukuran cintakasih.”
Kiranya tahun iman yang kita rayakan saat ini membaharui iman dan panggilan kita, bahwa kita dipanggil untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan, serta mengasihi sesama seperti diri sendiri.  
Semoga demikian.

My sincere prayer & fraternity love,
VEROL FERNANDO TAOLE

Yesus dan Bartimeus


MARKUS 10: 46 52

Saudara-saudari yang saya kasihi dalam Tuhan kita Yesus Kristus.
Bacaan Injil ini berbicara tentang penyembuhan seorang buta bernama Bartimeus. Meskipun tidak dapat melihat karena buta, Bartimeus yang saat itu sedang duduk di pinggir jalan mendengar bahwa Tuhan Yesus sedang melintasi Yerikho. Bartimeus pun berseru memohon belas kasihan Tuhan dengan berkata, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku.” Meskipun ditegur orang banyak, Bartimeus semakin keras berseru memanggil Tuhan Yesus. Seruan Bartimeus berbuah panggilan dari Tuhan Yesus yang kemudian menanyakan apa yang dikehendaki Bartimeus dari-Nya. Bartimeus menjawab, “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” Tuhan Yesus pun kemudian berkata, “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Seketika itu juga, Bartimeus dapat melihat kemudian mengikuti Tuhan Yesus.
Saudara-saudari terkasih,
Kisah ini begitu sederhana tetapi memiliki makna iman yang sangat dalam. Dalam permenungan ini, saya mengajak kita untuk melihat hidup kita di dunia ini sebagaimana Bartimeus. Bartimeus mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus saat ia sedang duduk di pinggir jalan. Bilamana kita mencoba melihat hidup kita di dunia ini sebagai suatu peziarahan menuju kemuliaan surga, kita pun akan mendapati bahwa seringkali sama seperti Bartimeus, yang berhenti untuk duduk di pinggir jalan, demikian juga kita seringkali berhenti saat diperhadapkan pada kesulitan hidup, entah pergumulan dalam keluarga, kesulitan dalam hidup, maupun derita karena sakit baik fisik maupun batin. Beratnya pencobaan tak jarang membuat kita sulit melangkah lagi, sehingga memutuskan untuk berhenti dan duduk. Ini merupakan sikap yang sangat manusiawi. Akan tetapi, sebagai seorang Katolik, kita dipanggil untuk melihat segala peristiwa hidup yang sungguh manusiawi itu untuk kemudian menyikapinya secara ilahi.
Kebutaan Bartimeus sebenarnya merupakan kebutaan kita juga. Seiring dengan berbagai pencobaan yang kita alami, tak jarang kita pun mengalami suatu kegelapan iman. Dalam kegelapan iman itu, kita terdorong untuk mempertanyakan Tuhan, dimana kita sulit melihat maksud dan kehendaknya di balik segala peristiwa & kesulitan hidup. Bacaan ini merupakan sapaan Tuhan yang menunjukkan kepada kita bagaimana dalam ke-ilahi-an sebagai putra-putri Allah, kita boleh berdiri dalam iman sama seperti Bartimeus, dan menyerukan nama Tuhan serta memohon belas kasihan dari-Nya. Setiap orang pasti mengalami badai pergumulan dalam hidup, yang jika tidak disikapi dalam iman, bisa membuat kita tergoda untuk mencari jalan penyelesaian di luar Tuhan, bahkan dapat membawa kita ke jurang keputusasaan dan kebinasaan. Injil hari ini mengajar kita bagaimana bersikap sebagai seorang Katolik sejati, yakni disaat menghadapi badai pergumulan hidup, kita harus berdiri dalam iman dan berseru kepada Tuhan, sebab hanya Tuhanlah satu-satunya jawaban atas segala pergumulan hidup kita. Manakala kita berseru kepada Tuhan, yakinlah, pada waktu yang tepat, Tuhan akan menjawab kita dan menolong kita. Bilamana kita sungguh berserah kepada Tuhan dalam iman, pada waktunya nanti, iman itulah yang akan mendatangkan pertolongan dari Tuhan. St. Teresa dari Avila mengingatkan kita, “Hendaklah kerinduanmu adalah melihat Allah, ketakutanmu kehilangan Dia, dukacitamu terpisah dari-Nya, sukacitamu boleh memiliki Dia. Dengan demikian, engkau akan beroleh damai sejahtera.
Saudara-saudari yang terkasih,
Tahun Iman yang saat ini kita rayakan, merupakan saat penuh rahmat bagi kita semua, putra dan putri Allah, yang oleh Sakramen Pembaptisan telah diangkat menjadi anak-anak-Nya, sebagai ahli waris kerajaan surga. Maka marilah di tahun penuh rahmat ini, kita memohonkan karunia iman dari Allah, agar kita semua boleh memiliki kesetiaan untuk beriman dalam badai pergumulan hidup, agar kita memiliki keberanian untuk menyerukan nama Tuhan, agar kita menanti dengan setia sampai Tuhan memanggil dan menolong kita. Dengan demikian, kita boleh menjadi garam dan terang dunia, dimana orang boleh melihat kehadiran Tuhan dalam hidup kita dan memuliakan Bapa di surga.
Semoga demikian.

My sincere prayer & fraternity love,
VERO, FERNANDO TAOLE

Yesus menyembuhkan hamba perwira Romawi di Kapernaum

MATIUS 8: 5 – 13

Saudara-saudari yang saya kasihi dalam Tuhan kita Yesus Kristus.
Dalam bacaan ini, dikatakan bahwa Tuhan Yesus menyembuhkan hamba dari seorang perwira Romawi di Kapernaum. Hamba dari perwira itu terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan sangat menderita. Sang perwira datang kepada Tuhan Yesus untuk memohonkan kesembuhan bagi hambanya. Dalam cintakasihNya yang besar, Tuhan Yesus menyatakan kesediaanNya pergi ke rumah perwira itu untuk menyembuhkan hambanya.
Disinilah kisah Injil yang sepertinya sudah jelas bagaimana akhir ceritanya tiba-tiba berubah menjadi suatu peristiwa iman yang sungguh menarik untuk kita renungkan. Sang perwira memberikan jawaban yang cukup mengagetkan. Dia berkata, “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.” (ayat 8)
Jawaban sang perwira ini begitu menggerakkan hati Tuhan Yesus sampai Ia berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel.” (ayat 10) Melihat betapa besarnya iman sang perwira Tuhan Yesus lalu berkata kepadanya, “ Pulanglah dan jadilah kepadamu, seperti yang engkau percaya.” Maka pada saat itu juga sembuhlah hambanya.
Saudara-saudari terkasih.
Bacaan ini mengajak kita sekalian untuk belajar beriman seperti sang perwira Romawi. Dia bukanlah seorang Israel, dia bukan bagian dari mereka yang disebut sebagai bangsa pilihan, tetapi justru orang yang dianggap kafir pada masa itu, sanggup menunjukkan iman yang luar biasa besar kepada Tuhan. Bagaimana dengan kita sekalian? Bukankah dengan menerima Sakramen Pembaptisan kita telah dipilih dan diangkat Allah sebagai putra-putriNya, sebagai ahli waris kerajaanNya? Tetapi, dalam kenyataannya harus kita akui betapa kita masih kurang beriman kepada Allah. Ada banyak saat & peristiwa di dalam hidup kita, dimana iman kita diuji lewat berbagai pergumulan misalnya permasalahan dalam keluarga, kesukaran-kesukaran hidup, kematian anggota keluarga, sakit yang berkepanjangan, dan masih banyak pergumulan iman lainnya yang seringkali disikapi dengan kurangnya bahkan ketiadaan iman akan Allah.
Kita sering mempertanyakan Tuhan, meragukan kebaikan dan kemahakuasaanNya, malah tak jarang ada yang justru meninggalkan imannya dalam kekecewaan. Saat ini kita hidup di tengah dunia dan setiap hari menyaksikan berbagai kemunduran dan kegagalan dalam beriman. Kita seringkali sulit untuk melihat rancangan Tuhan yang indah di balik segala peritiwa hidup, yang paling pahit sekalipun. Akan tetapi, yakinlah, Tuhan sanggup mendatangkan sesuatu yang baik, bahkan dari keadaan atau peristiwa yang teramat buruk sekalipun.
Inilah keindahan iman kristiani, keberanian untuk percaya sekalipun tidak ada alasan untuk percaya, keberanian untuk berharap sekalipun tidak ada dasar untuk berharap. Bagi Tuhan, tidak ada yang mustahil dan hanya Tuhanlah pilihan terbaikku. Bersama St. Teresa dari Avil kita diajak untuk dengan penuh iman berkata, “Solo Dios basta!” – “Tuhan saja cukup!”
Saudara-saudari terkasih.
Gereja merupakan persekutuan orang-orang beriman. Maka, menjadi anggota Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, menuntut dari kita kesediaan untuk menjadi saksi-saksi iman di sepanjang perjalanan hidup kita. Panggilan kristiani merupakan panggilan untuk selalu siap-sedia dalam kepasrahan iman untuk menjawab “YA” seperti Ibu Maria, atas segala misteri iman yang terjadi dalam hidup kita. Jawaban iman sang perwira yang merupakan juga jawaban iman kita dalam setiap Misa Kudus, kiranya selalu ada di bibir kita. “Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh.” Semoga Tahun Iman yang kita rayakan saat ini semakin menumbuhkan iman Gereja, iman kita semua. Iman untuk berharap sekalipun tidak ada alasan untuk berharap. Iman untuk percaya sekalipun tidak ada dasar untuk percaya. Dengan demikian, janji Tuhan Yesus di akhir bacaan tadi boleh menjadi nyata dalam kehidupan kita, “Pulanglah dan jadilah kepadamu seperti yang engkau percaya.”
Semoga demikian.

My sincere prayer & fraternity love,
VEROL FERNANDO TAOLE

Ketika gembala kehilangan domba

 "Tiada artinya bagiku hati yang mendua, bila kuberikan hatiku akan kuserahkan seluruhnya." ~ St. JosemarĂ­a Escrivá, JALAN, 145
Ketika dipercayakan Tuhan untuk menjadi Bapa Rohani yang diserahkan tanggung jawab untuk memelihara jiwa, kehilangan seseorang yang dipercayakan Tuhan kepadamu dapat menjadi suatu salib yang sungguh mendukakan. Kita teringat bagaimana pertama kali kita mengenalkan Tuhan sebagai pribadi yang sungguh dekat kepada mereka yang dipercayakan Tuhan pada kita. Bagaimana kita melihat mereka tumbuh dalam komunitas, sedapat mungkin hadir dalam segala suka-duka mereka, membawa mereka dalam setiap doa, silih dan kurban, serta bagaimana kita memiliki harapan besar bahwa pada saatnya nanti mereka akan menjadi Pemimpin Rohani bagi banyak orang.
Karena itu, ketika mereka memutuskan untuk menyerah dan memilih mundur disaat beban salib terasa semakin berat, kita seolah tidak percaya. Saat itu terlintas kata-kata Yesus, "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu....namun engkau tidak mengenal Aku?
Kita tidak bisa berhenti berpikir bagaimana mungkin orang bisa dengan begitu mudahnya menyerah di jalan kesempurnaan ini. Kita sering mendengar alasan-alasan yang dikemukakan, yang harus diakui untuk sesaat terdengar begitu rohani. Akan tetapi, sekiranya mereka mau merenungkan lebih dalam lagi keputusan itu, akan nyata bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang rohani dari keputusan untuk meninggalkan salib dan ketidaksediaan untuk terluka. Semua itu berasal dari iblis & kemerosotan dalam hidup Doa. Si jahat tahu menggunakan tipuan "waktu yang tepat" untuk menipu anak-anak Terang. Di saat kita seharusnya maju dan berbuah, si jahat dengan bisikan halusnya yang jahat, berusaha menghentikan langkah kita, dan pada akhirnya kita membuang-buang waktu dengan duduk termenung dalam kemurungan rohani. Kemunduran semacam itu merupakan pertanda bahwa hati kita semakin gelap & cinta akan Allah semakin berkurang. Salib dan luka akan selalu ada dalam peperangan rohani kita. Penyangkalan terhadap salib dan luka, disadari atau tidak, sebenarnya merupakan penyangkalan terhadap Tuhan & Penyelamat kita Yesus Kristus, Sang Kekasih jiwa kita, yang mencintai sampai terluka, bahkan sampai mati di salib.
Dalam kesedihan, adalah sungguh amat perlu untuk berdoa agar kita terhindar dari kemurungan rohani, sambil berharap, kiranya suatu saat nanti mereka kembali menapaki jalan kesempurnaan yang mereka tinggalkan. Kesempurnaan tanpa salib adalah kepalsuan. Kekudusan tanpa kesediaan untuk mencintai sampai terluka adalah mustahil. 
Pengalaman kehilangan jiwa juga menjadikan kita semakin menyadari kerapuhan dan keterbatasan kita. Tanpa Tuhan, kita sungguh bukan siapa-siapa. Harta rohani ini sungguh tersimpan dalam bejana tanah liat. Benarlah kata-kata Beata Mother Teresa dari Calcutta, "Menyadari diri sendiri membuat kita berlutut dengan rendah hati."

My sincere prayer & fraternity love,
VEROL FERNANDO TAOLE